Minggu, 02 Desember 2012

BOLEHKAH MELARANG PEKERJA TIDUR PADA JAM ISTIRAHAT?

Bolehkah perusahaan melarang karyawan/buruhnya tidur pada saat jam istirahat? Dalam hal ini perusahaan bukan menghilangkan hak pekerja untuk beristirahat, mereka tetap diijinkan untuk istirahat baik untuk menunaikan ibadah, makan, duduk, yang dilarang hanya tidur. Apakah tindakan perusahaan tersebut bertentangan dengan dengan undang-undang? 

Dalam upaya mengoptimalkan kinerja pekerja tanpa melalaikan hak-hak pekerja itu sendiri, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”) menentukan bahwa pengusaha wajib untuk memberikan kepada pekerja/buruh waktu istirahat bagi pekerja/buruh.
 
Pemberian waktu istirahat ini diatur dalam Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
 
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a.    istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
 
Pada praktiknya, waktu istirahat ini diberikan oleh perusahaan pada jam makan siang, ada yang 11.30-12.30, atau 12.00-13.00 ada pula yang memberikan waktu istirahat 12.30-13.30. Ada yang memberi waktu istirahat hanya setengah jam, namun sebagian besar perusahaan memberikan waktu istirahat satu jam. Dan penentuan jam istirahat ini menjadi kebijakan dari masing-masing perusahaan yang diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
 
Dalam penggunaan waktu istirahat yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, adalah menjadi pilihan bagi pekerja untuk menggunakan waktu istirahatnya. Sesuai pengertian istirahat adalah untuk melepas lelah, sewajarnya tidak ada larangan bagi pekerja untuk menggunakan waktu istirahatnya dengan tidur. Berbeda halnya jika pekerja tidur pada saat jam kerja, hal ini bisa berakibat PHK. Penjelasan lebih jauh mengenai hal ini, simak artikel Bisakah Di-PHK Karena Tidur di Tempat Kerja?
 
Menjawab pertanyaan Anda, dalam peraturan perundang-undangan yang ada memang tidak diatur secara tegas larangan bagi pengusaha/perusahaan untuk melarang pekerjanya tidur di waktu istirahat.
 
Demikian sejauh yang kami pahami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Sumber : Try Indriadi - www.hukumonline.com

BOLEHKAH KARYAWAN MENOLAK PENEMPATAN KERJA ATAU MUTASI ?

Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunya Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
 
(1).    Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2).    Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3).    Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.
 
Di Hukumonline pernah ada berita berjudul Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja. Di dalam berita tersebut diceritakan soal seorang pekerja (Bambang Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya (di-PHK) oleh Bank Mega karena menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pimpinan Supraja mengabulkan gugatan PHK yang dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim menganggap, menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang dapat dikualifisir mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UUK.
 
Dalam perkara Bambang melawan Bank Mega, memang disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan Perusahaan Bank Mega bahwa perusahaan berwenang untuk mengangkat, menetapkan, atau mengalihtugaskan satu jabatan ke jabatan lainnya atau satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan perusahaan.
 
Hal serupa pernah pula dialami oleh Bambang Wisudo yang digugat PHK oleh Kompas. Gugatan Kompas dikabulkan oleh Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta dengan dalil Bambang menolak mutasi. Lebih jauh simak artikel Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan ‘Kompas’ Sah.
 
Kesamaan dari dua kasus tersebut di atas yaitu kedua karyawan tersebut sudah pernah menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan di mana saja. Menolak mutasi berarti sama saja melanggar syarat perjanjian kerja.
 
Kembali ke pokok masalah, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi terhadap Anda dan Anda ingin menolak mutasi tersebut, Anda harus melihat kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") tempat Anda bekerja atau perjanjian kerja Anda dengan perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”, atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah Anda dianggap melanggar PP atau perjanjian kerja dan dapat digugat ke PHI.
 
Namun, sebelumnya Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar belakang dari keberatan Anda untuk dimutasikan ke tempat lain karena alasan keluarga. Upaya awal yang dapat Anda lakukan adalah melalui perundingan bipartit. Lebih jauh simak artikel Hubungan Industrial.
 
Merujuk pada Pasal 32 UUK di atas, penempatan tenaga kerja memang harus memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum pekerja. Dengan demikian, memang sebaiknya pihak perusahaan memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.
 
Jadi, menurut hemat kami, seandainya Anda terkena mutasi, Anda bisa saja menyampaikan keberatan Anda atas mutasi tersebut secara baik-baik atau “menawar” kebijakan mutasi tersebut agar perusahaan mempertimbangkan alasan Anda untuk tidak jauh dari keluarga. Dengan harapan, perusahaan akan mempertimbangkan kembali rencana mutasi tersebut.
 
Akan tetapi, jika kewenangan perusahaan untuk melakukan mutasi ini diatur dalam PP atau perjanjian kerja, maka perusahaan sangat mempunyai dasar untuk memutus hubungan kerja Anda jika Anda menolak mutasi. 

Sumber : Diana Kusumasari - www.hukumonline.com