Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunya Pasal 32 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
(1). Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2). Penempatan tenaga kerja diarahkan
untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan
keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3). Penempatan
tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Di Hukumonline pernah ada berita berjudul Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja.
Di dalam berita tersebut diceritakan soal seorang pekerja (Bambang
Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya (di-PHK) oleh Bank Mega karena
menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pimpinan Supraja
mengabulkan gugatan PHK yang dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang
Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim menganggap, menolak mutasi sama
dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang dapat
dikualifisir mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UUK.
Dalam perkara Bambang melawan Bank Mega, memang disebutkan
dalam Pasal 5 Peraturan Perusahaan Bank Mega bahwa perusahaan berwenang
untuk mengangkat, menetapkan, atau mengalihtugaskan satu jabatan ke
jabatan lainnya atau satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan
perusahaan.
Hal serupa pernah pula dialami oleh Bambang Wisudo yang digugat PHK oleh Kompas. Gugatan Kompas dikabulkan oleh Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta dengan dalil Bambang menolak mutasi. Lebih jauh simak artikel Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan ‘Kompas’ Sah.
Kesamaan dari dua kasus tersebut di atas yaitu kedua
karyawan tersebut sudah pernah menandatangani pernyataan bersedia
ditempatkan di mana saja. Menolak mutasi berarti sama saja melanggar
syarat perjanjian kerja.
Kembali
ke pokok masalah, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi
terhadap Anda dan Anda ingin menolak mutasi tersebut, Anda harus melihat
kembali ketentuan dalam Peraturan Perusahaan ("PP") tempat Anda bekerja
atau perjanjian kerja Anda dengan perusahaan. Jika memang menolak
mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”, atau melanggar
perjanjian kerja, konsekuensinya adalah Anda dianggap melanggar PP atau
perjanjian kerja dan dapat digugat ke PHI.
Namun,
sebelumnya Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan
menyampaikan latar belakang dari keberatan Anda untuk dimutasikan ke
tempat lain karena alasan keluarga. Upaya awal yang dapat Anda lakukan
adalah melalui perundingan bipartit. Lebih jauh simak artikel Hubungan Industrial.
Merujuk pada Pasal 32 UUK
di atas, penempatan tenaga kerja memang harus memperhatikan harkat,
martabat, hak asasi dan perlindungan hukum pekerja. Dengan demikian,
memang sebaiknya pihak perusahaan memperhatikan kondisi pekerja yang
akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.
Jadi,
menurut hemat kami, seandainya Anda terkena mutasi, Anda bisa saja
menyampaikan keberatan Anda atas mutasi tersebut secara baik-baik atau
“menawar” kebijakan mutasi tersebut agar perusahaan mempertimbangkan
alasan Anda untuk tidak jauh dari keluarga. Dengan harapan, perusahaan
akan mempertimbangkan kembali rencana mutasi tersebut.
Akan
tetapi, jika kewenangan perusahaan untuk melakukan mutasi ini diatur
dalam PP atau perjanjian kerja, maka perusahaan sangat mempunyai dasar
untuk memutus hubungan kerja Anda jika Anda menolak mutasi.
Sumber : Diana Kusumasari - www.hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar